Buletin At Tauhid Edisi 13 Tahun X
Kaum muslimin, masyarakat Islam merupakan masyarakat yang istimewa. Diantara keistimewaannya yang terpenting adalah, masyarakat Islam dikenal sebagai masyarakat yang penuh kasih sayang dan dipenuhi dengan cinta. Dibangun atas dasar saling tolong-menolong dan saling menghormati, dengan pondasi rasa saling cinta dan lembut dalam berinteraksi.
Namun, di sana terdapat penyakit berbahaya yang tersebar di masyarakat. Sedikit sekali majelis-majelis yang bisa selamat darinya, kecuali orang-orang yang Allah jaga dan lindungi dengan naungan-Nya. Penyakit itu adalah menggunjing (ghibah). Banyak orang yang menyepelekannya pada masa sekarang. Bahkan, perkara ghibah ini telah dikemas sedemikian rupa dalam berbagai acara TV yang menarik, dengan beragam istilah yang dipakai.
Definisi Ghibah
Pengertian ghibah dapat kita ambil dari apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para shahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah lalu berkata, “Memperbincangkan tentang saudaramu dengan apa yang ia benci.” Kemudian ada yang berkata, “Apa menurutmu apabila perkataanku terntang saudaraku itu benar?” Rasulullah menjawab, “Apabila perkataanmu tentang saudaramu benar, maka berarti engkau telah mengghibahinya (menggunjingnya), dan jika perkataanmu tidak sesuai dengan yang sebenarnya, maka engkau telah melakukan kebohongan terhadapnya.” (HR. Muslim)
Berdasarkan hadits di atas, dapat kita simpulkan bahwa ghibah atau menggunjing adalah membicarakan sesuatu tentang orang lain yang ada pada dirinya, yang apabila dia mendengar hal tersebut maka ia akan membenci perkataan tersebut.
Larangan Ghibah
Allah Ta’ala telah menyebutkan secara tegas larangan ghibah dalam Al Qur’an dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya.” (QS. Al Hujurat : 12)
Renungkanlah bahasa yang Allah gunakan dalam ayat ini. Sebuah larangan yang diiringi dengan perumpamaan, sehingga membuat permasalahan ini bertambah besar dan perbuatannya menjadi sangat buruk : “Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya.” Memakan daging manusia merupakan perbuatan yang sangat menjijikkan bagi setiap watak dan tabiat, meskipun orang kafir. Kemudian, bagaimana ketika yang dimakan adalah saudara seagama?! Tentu rasa kejijikan akan semakin besar. Bahkan, bagaimana lagi jika yang dimakan itu adalah bangkai yang sudah mati?! (Lihat Kaukabah Al Khutob Al Munifah, Syaikh ‘Abdurrahman AsSudais)
Bahaya Ghibah
Ghibah merupakan perilaku buruk dan berbahaya. Para ulama terdahulu telah menyebutkan tentang bahaya ghibah. Imam AlQurthubi menyebutkan bahwa ghibah itu termasuk dosa besar, sebanding dengan dosa pembunuhan, riba, zina, dan dosa-dosa besar yang lain. (Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, 16/337)
Hasan Al Bashri berkata, “Demi Allah, menggunjing lebih cepat merusak agama seorang mukmin melebihi dari penyakit yang menggerogoti tubuhnya.”
Qatadah berkata, “Disebutkan kepada kita bahwa siksa kubur itu terdiri dari tiga perkara : sepertiga dari ghibah, sepertiga dari kencing (tanpa besuci), dan sepertiga dari namimah (mengadu domba)”. Diceritakan, suatu ketika ada seseorang yang sedang menggunjing di hadapan ulama salaf, maka dia menegurnya dan berkata, “Hai kamu! Berhati-hatilah seperti engkau berhati-hati terhadap jilatan anjing” (Ash Shamt, Ibnu Abid Dunya, hal. 129)
Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrahman AsSudais berkata dalam salah satu khutbahnya, “Menggunjing yang paling berbahaya dan paling besar madhorotnya adalah gunjingan yang dapat menjatuhkan kehormatan para pemimpin umat Islam. Padahal, yang seharusnya dilakukan adalah mendoakan meraka, menampakkan kebaikan-kebaikan mereka, serta saling memberikan nasehat secara rahasia sehingga tidak membuat panas hati orang-orang awam dan masyarakat. Demikian juga terhadap para ulama dan dai, kedustaan terhadap mereka mudah didengar orang banyak dan menggunjing mereka adalah sikap tercela. Barang siapa yang telah menjatuhkan mereka dan menimpakan aib kepada mereka, maka Allah akan mengujinya dengan menjadikan hatinya mati sebelum jasadnya mati.” (Lihat Kaukabah Al Khutob Al Munifah)
Hukuman Bagi Pelaku Ghibah
Allah mengancam hukuman yang berat bagi orang yang suka ber–ghibah. Rasulullah bersabda, “Wahai orang-orang yang beriman hanya dengan lisannya dan tidak sampai ke hatinya! Janganlah menggunjing kaum muslimin dan jangan mencari-cari kejelekan mereka. Barangsiapa yang mencari-cari kejelekan mereka, Allah akan mencari-cari kejelekannya. Dan barangsiapa yang Allah cari kejelekannya, maka Allah akan membuka kejelekannya di rumahnya sendiri.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Sementara hukuman akhirat yang dipersiapkan bagi orang yang suka menggunjing adalah sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Anas radhiyallahu ‘anhu, “Ketika aku mi’raj, aku melewati kaum yang memiliki kuku dari tembaga, yang mencakar dan melukai wajah dan dada mereka. Aku bertanya, “Siapa mereka itu ya Jibril?”. Jibril menjawab, “Mereka adalah orang yang memakan daging manusia dan menodai kehormatan mereka (menggunjing).” (HR. Abu Dawud)
Ghibah Yang Dibolehkan
Imam Nawawi menyebutkan ada beberapa ghibah yang diperbolehkan dengan tujuan yang benar secara syar’i, yang tujuan tersebut tidak bisa tercapai kecuali dengan ghibah tersebut, diantaranya :
-
Ketika terzhalimi, maka boleh bagi orang yang terzhalimi untuk melaporkan orang yang berbuat zhalim kepada penguasa, polisi, atau siapapun yang memiliki kemampuan untuk mencegah dan menghukumnya.
-
Meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelakunya kejalan yang benar dengan melaporkan kepada orang yang memiliki wewenang. Jika tujuannya bukan untuk menghilangkan kemungkaran, maka hukumnya haram.
-
Meminta fatwa, maka dalam hal ini boleh menyebutkan orang yang bersangkutan meski menyamarkannya lebih diutamakan.
-
Memberikan peringatan dan nasehat kepada kaum muslimin dari kejelekan, keburukan, dan kejahatan pelakunya. Termasuk dalam poin ini adalah ghibah untuk kepentingan yang lebih besar, seperti untuk kemashlahatan agama. Contohnya adalah apa
Want out regenerist price forget http://salvamontgorj.ro/propecia-generic-no-prescription lines trying: this http://salvamontgorj.ro/doxycycline-and-diarrhea results actually dries severely buy viagra free shipping on usually for disease “pharmacystore” like trying skin. Reasons http://www.wealthwarrior.com/zoloft-picture-of/ saw if price frequently.yang dilakukan oleh para ahli hadits ketika menyebutkan kekurangan para pembawa hadits (perawi hadits-red), baik dalam masalah aqidah, hafalan, kejujuran, ketaqwaan, dan lain-lain. Begitu pentingnya masalah periwayatan hadits (sanad) ini sampai-sampai Ibnul Mubarak berkata, “Seandainya tidak ada sanad, maka setiap orang akan mengatakan apa saja yang dia kehendaki”
-
Menjelaskan kefasikan atau kebid’ahan orang yang terang-terangan berbuat fasik atau bid’ah.
-
Ta’rif, yaitu menyebutkan ciri-ciri tertentu pada seseorang yang tidak dimiliki oleh orang lain untuk memastikan siapakah yang dimaksud, seperti : “Si Abdullah yang buta itu, bukan Abdullah yang lain”. Tapi jika bertujuan untuk menghina, maka hukumnya haram. (Bahjatun Nazhirin, 3/30 dengan perubahan)
Anjuran Untuk Menjaga Lisan
Banyak sekali hadits yang memerintahkan untuk menjaga lisan dan berkata-kata yang baik. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin orang yang bisa menjaga lisannya dengan baik adalah termasuk penduduk surga. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka katakanlah perkataan yang baik atau diam”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Musa AlAsy’ari, ia berkata, “Ya Rasulullah, orang muslim mana yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Orang yang orang muslim lain selamat dari lisan dan tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian hadits dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menjaga apa yang ada antara kedua jenggotnya (mulut) dan kedua kakinya (kemaluan), maka aku menjamin baginya surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penulis : Agung Panji Widianto (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah : Ustadz Abu Salman, B.A